Wednesday 29 May 2013

SANTRI DAN GLOBALISASI

Santri dan Globalisasi: Siapa, Apa, dan Bagaimana?
Oleh: Musholli Ready[1]

A. Siapa Santri Itu?
Setidaknya ada tiga faktor yang menjadi pembeda Santri dengan komunitas lainnya semisal pelajar atau mahasiswa:
Pertama, Santri dikenal sebagai bagian kecil dari komunitas masyarakat yang teguh mempertahankan tradisi ulama klasik dalam amal maupun pemikiran. Peran Santri dalam bidang ini tampak dari upaya mereka untuk senantiasa mengkaji kitab-kitab klasik dengan tekun. Kitab kuning menjadi makanan sehari-hari dengan berbagai metode yang digunakan untuk memudahkan pemahaman. Selain itu, Santri diketahui mempunyai komitmen tinggi untuk mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam, bahkan dalam amal yang begitu teguh. Mereka menjalankan tirakat atau riyadlah sebagai bentuk penyucian jiwa dari dosa dan kotoran yang menutupi bashirah. Tak heran, masyarakat menganggap mereka mempunyai kemampuan lebih dibanding dengan kelompok lain.
Kedua, Santri dikenal menjunjungkan tinggi kekeluargaan dan kebersamaan. Di saat masyarakat terkotakkan dalam beberapa tingkat sosial, justru mereka bisa mengambil contoh terbaik tentang peleburan itu di dalam Santri. Dengan kekeluargaan, bentuk penghargaan kepada pihak-pihak yang seharusnya ditempatkan pada posisi mulya dihargai. Penghargaan itu tampak dari sikap-sikap kepada yang lebih tua, atau dari yang tua kepada yang muda. Layaknya keluarga, masing-masing merasakan sebagai bagian yang lain. Dengan begitu, tertata regenerasi yang tak pernah putus yang terpelihara dari masa ke masa dalam perjalanan pencarian ilmu itu.
Ketiga, Santri dikenal arif dalam dakwah dengan mengambil kearifan lokal sebagai media bukan sebagai “hantu” yang harus dikafirkan dan dihanguskan. Kita bisa menyaksikan betapa Kyai-kyai zaman dahulu hingga sekarang amat bijak mengambil sikap terhadap masyarakat sekitar pesantren untuk diajak secara bersama-sama membuat kesejukan dunia dan mengesakan Tuhan Maha Satu semata. Secara psikologis, dakwah ini mudah diterima, karena lebih mengedepankan substansi ketimbang urusan formalitas yang sama sekali tidak membumi. Maka, dakwah model ini sebenarnya merupakan metode saja yang tidak menodai ajaran Islam. Kesuksesan Kyai-kyai dalam menggaet masyarakat lebih humanis dan religius dapat kita jadikan contoh dan referensi.[2]

B. Apa Ciri-ciri Globalisasi?
Dalam konteks kekinian, Santri dihadapkan pada era yang bisa jadi sangat asing yang bila Santri tidak siap, pasti akan terpinggirkan bahkan seperti makhluk asing di rumahnya sendiri. Era tersebut oleh kebanyakan kalangan disebut era global atau globalisasi. Kata globalisasi diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.[3]
Setidanya ada dua indikator yang menandakan kehidupan masyarakat itu telah masuk pada era globalisasi, yaitu pertama kecanggihan teknologi informasi. Dengan kecanggihan teknologi informasi, masyarakat-- termasuk didalamnya adalah santri, bisa mengakses segala macam informasi, kapan saja dimana saja. Semua informasi bisa masuk meskipun berada pada kamar tertutup dan terkunci. Seringkali kita jumpai dua orang yang duduk bersebelahan namun mereka tidak saling tegur sapa karena keduanya sibuk melayani temannya yang justru tidak berada disitu, namun jauh disana yang bisa jadi melampui negerinya sendiri.
Kecanggihan informasi memberikan satu akses yang luar biasa kepada masyarakat tak terkecuali masyarakat Santri. Semisal dalam Kiyai Google, semua informasi yang kita butuhkan hampir bisa dipastikan tersedia di ustadz Google ini. Informasi itu, mulai dari hal yang remeh-remeh semisal tentang bagaimana cara memasak terong, hingga pada hal-hal yang sensitif semisal bagaimana melampiaskan rasa kerrong. Mulai dari informasi yang kontruktif semisal bagaimana beragama yang benar hingga pada informasi yang distruktif semisal bagaimana meruntuhkan agama seseorang.
Kedua adalah berkembangnya transportasi yang begitu pesat. Pada era tahun 50-an, seseorang yang hendak pergi haji membutuhkan waktu yang berbulan-bulan. Dibutuhkan kesiapan dana dan mental bagi seseorang yang ingin berangkat haji. Namun sekarang, hal itu tidak terjadi lagi. Pergi haji ke Mekkah hanya membutuhkan sekitar 20 jam. Perjalanan yang awal mulanya bisa ditempuh selama kurang lebih tiga bulan bisa diperpendek menjadi hanya 20 jam. Suatu pemangkasan jarak yang luar biasa.
Kamajuan transportasi ini tentu membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat, terutama kaum sarungan. Dalam jangka sehari atau 24 jam seseorang telah bisa menjelajahi Nusantara yang awalnya hanya bisa dilakukan berbulan-bulan. Masyarakat yang siap dengan kecanggihan transportasi tentu diuntungkan sebab ruang geraknya lebih efektif, namun bagaimana bagi masyarakat yang tidak siap dengan kecanggihan transportasi tersebut? Keterbelakangan tranportasi akan berakibat ketertinggalam akses dalam menikmati hasanah kehidupan ini.
Dalam konteks inilah, menurut Bambang Pranowo  bahwa patron dan rujukan  manusia di era globalisasi  sangat kompleks.  Pinjam istilah  Lester Kurtz dalam bukunya Gods in the Global Village.      Di era globalisasi, manusia di seluruh dunia tidak hanya tersambungkan satu sama lain melalui  teknologi internet  tanpa batas dan  tanpa ruang privat, tapi juga memunculkan  berbagai pemahaman yang mandiri dan sangat pribadi terhadap suatu masalah (agama, keyakinan, dan paham) karena banyaknya rujukan, patronase, dan ”kyai-kyai” baru. Sebagaimana yang penulis sebutkan di atas, orang tidak perlu belajar agama di pesantren atau madrasah untuk menjadi seorang alim ulama, tapi bisa belajar mealui ”google”  yang akan menuntunnya menemui ”ustad” atau kyai terbaik yang ada di alam maya (cyber). Dengan demikian, jangan heran, jika saat ini muncul ulama rujukan yang berasal dari ”tokoh-tokoh gaul” yang belajar agama melalui buku-buku dan internet.
  Saat ini, ungkap Kurtz, kita hidup di masyarakat yang berada dalam cultural pluralism. Globalisasi, menurut Kurtz, mau tidak mau akan menarik kita ke dalam denyut cultural pluralisme tersebut.  Persoalannya, bagaimanakan umat Islam bersifat terutaman Santri menyambut pluralisme budaya sebagai dampak era globalisasi itu?[4]

C. Bagaimana seharusnya Santri mengambil Peran?
Ada tiga sikap manusia menghadapi perubahan zaman di era globalisasi. Pertama, bersikap isolatif yaitu, menutup diri dari gegap gempita pengaruh luar. Sikap kelompok ini  eksklusif yang berusaha menerapkan seratus persen pola kehidupan pada masa para sahabat Nabi. Kelompok ini menolak semua aksesoris globalisasi. Dari cara berpakaian dan bersikap diimpikan untuk kembali pada kehidupan awal-awal Islam. Mereka tidak hanya eksklusif namun juga ekstrim. Siapa yang tidak sepaham dengan mereka, maka orang tersebut dituduh dan dihukumi kafir, ahli bid’ah dan streo type negatif lainnya.
Kedua, bersikap over aktif. Kelompok manusia ini bersikap masa bodoh terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan budaya era globalisasi. Mereka tidak peduli bagaimana perubahan budaya itu mengubah  perilaku keberagamaan masyarakat. Bagi mereka, hidup yang baik dan benar adalah mengikuti budaya dan trend yang berkembang di masyarakat. Dengan mengikuti budaya dan trend tersebut, mereka bangga dan percaya bahwa mereka adalah manusia yang mengikuti arus global dan siap untuk mengarungi kehidupan ini. Pola yang kedua ini tida lebih hanyalah korban dari era globalisasi.
Ketiga, bersikap selektif. Kelompok ini bersikap terbuka terhadap perubahan budaya yang terjadi di masyarakat. Namun mereka bersika selektif, hanya mengikuti apa yang dianggapnya baik. Kelompok ketiga inilah yang menurut saya paling relevan dalam mengarungi hidup di era globalisasi. Dalam satu pepatah Arab mengatakan ambillah hikmah itu dari manapun hikmah tersebut. Kelompok ini tida apriori terhadap perkembangan zaman, namun juga tidak mengikuti arus tanpa standart. Ada batasan-batasan prinsip yang tidak boleh dilanggar oleh kemajuan zaman sekalipun.

D. Apa yang Harus dipersiapkan?
Sementara di satu sisi, justeru menurut beberapa futrolog lain, semisal John Naisbit dalam Megatrend 2000 (1996), justeru munculnya pola global akan juga menimbulkan kebangkitan agama pada milenium ke tiga, sebagai respon bagi kejenuhan dan kekeringan spiritual manusia. Artinya bahwa dalam kegalauan manusia melakukan persaingan yang keras hampir di semua gelanggang, aspek spiritualitas agama mempunyai peran untuk mengendalikan dan menyuburkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang terdistorsi.[5]
Bila benar pendapat diatas, maka apa yang harus dipersiapkan oleh seorang Santri untuk menyongsong dan mengambil celah dan peran tersebut?. Dalam hal ini, Santri tidak hanya mampu Quu Anfusakum wa Ahliikum Naara, namun juga harus Jaahiduu Biamwalikum Wa Anfusikum. Konsep pertama melahirkan strategi defensif atau bertahan. Kita berusaha keras untuk membendung arus globalisasi masuk dan merasuk dunia kita. Pertanyaan adalah bisakah arus globalisasi bisa dibendung? Jawabannya tentu tidak!
Dengan konsep yang kedua Jahiduu Biamwalikum Wa Anfusikum, akan melahirkan semangat baru yaitu kita tidak hanya dituntut untuk bertahan namun melakukan serangan-serangan balik yang bisa mengisi ruang-ruang kosong dan bahkan merubah nuansa globalisasi dari yang affair menjadi fair. Bila demikian, maka Santri harus mempersiapkan untuk melakukan pertarungan ini:
Pertama, perkokoh status dan mental kita sebagai Santri. Dalam satu Nadzam Alfiah dikatakan “Lir Raf’I wan Nashbi wa Jarrina Shalah Ka’rif Bina fainnaa Nilnal Minah” (dalam kondisi apapun: Rafa’, Nasab bahkan Jer sekalipun, Na tetaplah Na. Kenalilah diri Anda, niscaya Anda akan menemukan keberuntungan). Penguatan status dan mental sebagai seorang Santri penting disuarakan agar seorang Santri tidak kehilangan jati dirinya, tidak terhanyut oleh gelombang arus globalisasi yang memang maha dasyat.
Kedua, perkaya dengan keilmuan dan keahlian. Keilmuan dimaksudkan agar Santri bisa menganalisis semua kondisi yang dihadapi dengan benar dan jitu. Keilmuan lebih membimbing Santri pada tindakan yang seharusnya dilakukan. Ia menjadi modal bagaimana seorang Santri mengambil peran dalam kehidupannya. Sementara keahlian menjadi penting sebagai penopang dalam merealisasikan keilmuan yang dimiliki. Seseorang yang bermodalkan seabrek keilmuan namun miskin keahlian, hanya akan melahirkan seorang Santri yang jauh dari masyarakatnya.
Ketiga, melakukan pemberdayaan masyarakat. Santri sebagai komunitas yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan dengan watak dan karakter yag akomodatif dengan budaya lokal serta karakter religiusnya, sesungguhnya mempunyai peluang peran yang sangat vital dalam perkembangan globalisasi. Dalam istilah Santri, pemberdayaan yang dimaksud tidak hanya merambah dunia pendidikan. Santri tidak hanya berbicara tentang bagaimana kehidupan kelak di akhirat. Santri tidak hanya memberdayakan masyarakatnya tentang bagaimana berdaya di akhirat, namun juga Santri harus mampu memberdayakan masyarakat dalam bidang ekonomi, budaya dan bahkan tekhnologi serta informasi. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya menjadi penonton bahkan korban globalisasi, namun juga pemain yang sukses dan berhasil. Semua, tentunya dalam rangka mencapai Ridha Tuhan; Tuhanku, Tuhanmu dan Tuhan kita semua.
Wallahu a’lam Bisshawab.
Bondowoso, 8 Mei 2013.

________________________________________
[1] Alumnus PP. Nurul Qadim. Tinggal di Kota Tape Wringin Bondowoso. Makalah ini disampaikan pada Seminar di PP. Nurul Qadim
[2] Santri di Era Globalisasi _ PP AL-LUQMANIYYAH JOGJAKARTA.htm
[3] www.wikipedia.
[4] Makalah Bambang Pranowo dalam seminar Globalisasi dan Jati Diri Bangsa di UIN Syarif Hidayatullah
[5] Download at 5/5/2013 di http://hamidwahid.wordpress.com/2007/05/25/santri-menyikapi-globalisasi-2/